Serang, LSPM – Masa depan demokrasi Indonesia tengah dihadapkan pada persoalan serius, paling utamanya menyoal kemunduran demokrasi yang bahkan sudah menjadi semacam konsensus di kalangan ilmuwan sosial.
Salah satu faktor penyebabnya adalah menggelembungnya kekuasaan atau disebut sebagai executive aggrandisement, yang mana fenomena tersebut berlangsung secara kondusif sebagai akibat dari gemuknya partai politik yang berada dalam koalisi pemerintahan. Bahkan, hari ini sulit rasanya membayangkan PDI P untuk tampil sebagai oposisi.
Padahal, PDI P adalah parpol yang semula diharapkan oleh sebagian publik untuk menjadi oposisi yang tangguh. Maka, di tengah dinamika dan konstelasi politik yang ada, agenda terpenting dalam redemokratisasi adalah mengembangkan gerakan civil society yang bersifat inklusif.
Efektivitas Pemerintahan yang “Tidak Bermakna”
Desain institusional ketatanegaraan di Indonesia memang mengharuskan lembaga legislatif dan eksekutif untuk saling bekerjasama. Kerjasama yang konstruktif dan dinamis di antara kedua lembaga ini memang diperlukan untuk terselenggaranya efektivitas pemerintahan.
Sebaliknya, ketika kedua lembaga ini tidak bisa bekerjasama dengan baik, maka yang dikhawatirkan kemudian adalah pemerintahan yang inefektif yang berujung pada instabilitas demokrasi sebagaimana yang dikhawatirkan oleh banyak ilmuwan menyoal sistem presidensialisme multipartai.
Inilah tesis utama dalam disertasi dengan judul Making Presidentialism Work: Legislative and Executive Interaction in Indonesian Democracy (2012), yang ditulis oleh Djayadi Hanan di Departemen Ilmu Politik, Ohio State University, USA.
Dari permasalahan di atas, elite politik akan menyiasati dengan membangun koalisi partai politik pendukung pemerintah di parlemen. Namun yang menjadi masalah dalam politik-pemerintahan di Indonesia, yakni ketika pola hubungan antar parpol yang dibangun tadi, yang menjadi fondasi relasi eksekutif-legislatif dalam bekerja justru didasarkan pada kartelisasi politik.
Kartelisasi politik atau politik kartel adalah suatu relasi yang dibangun dengan mendasarkan pada akses terhadap sumber daya materil, dan bukan pada platform, ideologis kepartaian dan sebagainya.
Dalam pola hubungan tersebut, yang paling diutamakan oleh partai politik adalah bagaimana agar kebutuhan materil mereka terpenuhi, dan itu lebih dimungkinkan manakala mereka tergabung dalam koalisi pendukung pemerintah di parlemen. Itu sebabnya, partai politik berbondong-bondong untuk tergabung dengan koalisi pemerintahan.
Padahal, yang menjadi catatan penting, bahwa dalam sistem demokrasi, baik koalisi maupun oposisi adalah posisi yang sama-sama penting dan terhormat.
Namun pilihan menjadi oposisi tidak akan banyak memberi insentif terutama berkaitan dengan akses terhadap sumber daya materil yang jelas diperlukan bagi keberlangsungan parpol itu sendiri dalam memenuhi kepentingan logistiknya.
Dalam hemat penulis, menggelembungnya parpol pendukung pemerintah di parlemen, di satu sisi memang mendukung efektivitas pemerintahan; menghindari deadlock antara eksekutif-legislatif. Namun pada sisi yang lain, efektivitas tersebut tidak akan bermakna ketika dalam prosesnya justru minim kritisisme dan atau checks and balances, dan ini akan memengaruhi kualitas kebijakan yang dihasilkan.
Bahkan, implikasi lainnya yakni potensi akan semakin subur dan kondusifnya praktik perburuan rente di kalangan elite, karena minimnya “gangguan” dari parpol yang memposisikan diri sebagai opoisi pemerintahan.
Dari pemaparan di atas, maka dapat dikatakan bahwa fenomena gemuknya parpol yang berada dalam koalisi pemerintahan semakin memperburuk demokrasi dan kondusif bagi terjadinya penggelembungan kekuasaan. Checks and balances yang seharusnya menjadi keniscayaan dalam demokrasi pun menjadi melemah.
Masa depan demokrasi Indonesia pun terlihat semakin buram, dan bahkan berbagai indikasi tadi menunjukkan bahwa kita memasuki suatu rezim yang disebut oleh Steven Levitsky dan Lucan Way dalam “The Rise of Competitive Authoritarianism” (2002) sebagai otoriterisme kompetitif.
Harapan Semu pada PDI Perjuangan
PDI Perjuangan adalah partai besar yang kaya akan historis. Terlebih lagi, status mereka sebagai satu-satunya parpol yang bisa memenangkan pemilihan legislatif selama 3 kali beruntun. Sehingga sangat wajar, bila sebagian publik kita berharap banyak pada PDI P agar mereka bisa menjadi oposisi pemerintahan yang tangguh.
Walaupun bila yang terjadi skema sebagaimana yang diharapkan oleh sebagian publik tersebut, PDI P akan menjadi parpol minoritas di parlemen bila dibandingkan dengan total parpol yang berada dalam koalisi pemerintahan.
Namun, sebagai parpol yang kaya akan pengalaman, eksistensi PDI P jelas tidak bisa diremehkan termasuk untuk menggerakkan suara publik manakala mereka tampil sebagai opisisi pemerintah, meskipun secara formal di parlemen mereka menjadi partai minoritas tadi.
Namun menjadi suatu ironi, bahkan “tragic comedy”, di tengah gemuknya parpol koalisi pemerintah dan PDI P menjadi harapan besar bagi publik, yang terjadi malah sebaliknya: PDI P nampak setengah hati, bahkan lebih dari itu; mereka nampak “malu-malu kucing” bahwa mereka pun tergiur menjadi parpol yang mendukung istana.
Dengan kata lain, kita sulit membayangkan PDI P menjadi oposisi yang tangguh, dan ini menjadi semacam harapan semu bagi publik, bahkan lebih dari itu; besar kemungkinan publik akan mengalami “patah hati”.
Dalam hemat saya, setidaknya ada dua faktor yang memengaruhi sikap PDI P. Pertama, menjadi oposisi pemerintahan tidak akan memberi insentif yang memadai terutama akses terhadap sumber daya materil yang diperlukan bagi keberlangsungan partai; keduanya, sebagian elite politik PDI P hari ini cenderung menggunakan gaya berpolitik yang kompromis atau akomodatif terhadap pemerintahan.
Dua faktor ini turut menjadi pertimbangan Bu Mega selaku ketua umum untuk menjaga keseimbangan organisasi di tengah konfigurasi politik dalam internal partai.
“Lalu, yang jadi pertanyaan kemudian, bila publik tidak bisa berharap banyak pada PDI P, pada siapa publik akan berharap?”
Membangun Gerakan Civil Society yang Inklusif
Dalam hemat penulis, yang paling mungkin adalah berharap pada diri sendiri, dan atau dengan kata lain pada kekuataan civil society itu sendiri. Salah satu kerangkanya adalah dengan membangun gerakan yang inklusif.
Terlebih lagi, salah satu masalah utama gerakan civil society di Indonesia adalah adanya dislokasi, terfragmentaris dan sebagainya. Gerakan yang inklusif lebih memungkinkan bagi civil society untuk menjadi lebih kuat.
Terlebih lagi, di tengah masifnya sosial media sebagai ruang publik politik, dan menjadi locus politik yang potensial untuk memperjuangkan politik kewargaan. Maka sekurang-kurangnya, kekuataan kritis civil society berpotensi bisa menjadi gangguan yang nyata bagi agenda-agenda elitis maupun yang bersifat illiberal.
Setidaknya, gerakan inklusif bisa mengamputasi langkah elitis-oligark ataupun agenda illiberal yang bisa semakin memperdalam kerusakan politik-pemerintahan Indonesia. Walaupun harus diakui juga, masih sulit membayangkan kekuataan elitis-oligark ini terhapuskan dalam struktur ekonomi politik di Indonesia.
Dengan kata lain, membangun gerakan inklusif harus menjadi agenda penting dalam redemokratisasi di Indonesia. Setidaknya hal itu potensial untuk mencegah agar kerusakan tidak terjadi semakin parah dalam struktur sosial atau ekonomi politik di Indonesia.
Cusdiawan, Direktur Eksekutif Center for Indonesian Governance and Development Policy dan Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang.






