Sejarah sering kali berulang, meski dalam wajah yang berbeda. Apa yang kini terjadi di Indonesia, ketika demonstrasi besar-besaran mengguncang Jakarta dan berbagai kota lain sejak akhir Agustus 2025, mengingatkan kita pada satu episode besar dalam sejarah dunia, yaitu Revolusi Prancis tahun 1789.
Pada masa itu, rakyat Prancis bangkit menentang monarki absolut yang dianggap lalai dan penuh privilese, sementara rakyat kecil menanggung beban berat ekonomi dan sosial. Kini, dalam konteks yang berbeda, rakyat Indonesia juga bersuara keras terhadap kebijakan elitis yang dianggap mencederai rasa keadilan, yakni pemberian tunjangan fantastis bagi anggota DPR di tengah kesenjangan sosial yang makin melebar.
Jika ditarik ke belakang, Revolusi Prancis lahir dari kondisi ketimpangan yang akut. Pajak yang menjerat rakyat kecil kontras dengan kehidupan bangsawan dan gereja yang bergelimang hak istimewa. Ketidakadilan ini menumbuhkan rasa frustasi kolektif hingga meledak dalam aksi dramatis penyerbuan Bastille, simbol tirani monarki. Situasi Indonesia hari ini, meski hidup dalam sistem demokrasi modern, memperlihatkan pola yang tak jauh berbeda. Kebijakan DPR yang mengalokasikan tunjangan hunian hingga lima puluh juta rupiah per bulan seolah menjadi cermin bahwa jurang antara penguasa dan rakyat masih terbuka lebar.
Bagi masyarakat yang bergulat dengan kenaikan harga dan rendahnya upah minimum, keputusan tersebut lebih dari sekadar angka. Ia menjadi simbol ketidakadilan dan tanda bahwa elit politik berjalan di atas realitas yang jauh dari kehidupan rakyat banyak.
Seperti halnya kemarahan rakyat Prancis yang dipicu simbol-simbol ketidakadilan, protes di Indonesia mendapat pemicu tragis dengan tewasnya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online berusia dua puluh satu tahun, yang tertabrak kendaraan taktis polisi saat aksi di Jakarta. Peristiwa ini menyalakan api solidaritas yang meluas, menghadirkan resonansi emosional di berbagai kota. Dalam sejarah, satu peristiwa kematian rakyat kecil sering kali menjadi katalis bagi perubahan besar. Pada abad ke-18, Revolusi Prancis mendapat dorongan moral dari penderitaan rakyat miskin yang diabaikan penguasa. Di abad ke-21, Indonesia menyaksikan bagaimana sebuah tragedi individual bisa bertransformasi menjadi simbol perlawanan kolektif terhadap sistem yang dianggap tidak adil.
Tuntutan yang disuarakan pun memiliki nada serupa dengan apa yang menggema di jalan-jalan Paris dua abad lalu. Rakyat Prancis kala itu menuntut kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Masyarakat Indonesia hari ini menekankan pentingnya keadilan sosial, transparansi, dan akuntabilitas. Baik di Prancis maupun di Indonesia, suara rakyat adalah penegasan bahwa kekuasaan seharusnya berada di bawah kendali publik, bukan menjadi alat untuk memperkaya segelintir elit.
Respon penguasa dalam kedua peristiwa ini juga memperlihatkan pola yang hampir sama. Raja Louis XVI mencoba meredam gejolak dengan cara represif, namun tindakan itu justru mempercepat keruntuhan legitimasi monarki. Di Indonesia, pemerintah mengerahkan aparat, menggunakan gas air mata, hingga terlibat bentrokan dengan massa. Presiden bahkan membatalkan kunjungan luar negeri untuk menangani krisis. Dalam situasi seperti ini, pemerintah Indonesia berada pada persimpangan sejarah: apakah akan mendengar dan mengakomodasi aspirasi rakyat, atau bertahan dengan kebijakan yang justru menjauhkan diri dari mereka yang memberi mandat.
Pelajaran dari Revolusi Prancis jelas: ketidakadilan yang dibiarkan terlalu lama akan melahirkan perubahan, baik melalui jalan reformasi maupun lewat ledakan besar yang mengguncang tatanan lama. Indonesia masih memiliki kesempatan untuk menempuh jalan damai. Mekanisme demokrasi, jika benar-benar dijalankan dengan penuh tanggung jawab, bisa menjadi saluran efektif untuk menyelesaikan krisis tanpa harus mengulang tragedi berdarah seperti yang terjadi di Eropa dua abad silam.
Pada akhirnya, demonstrasi Indonesia 2025 dan Revolusi Prancis 1789 sama-sama mengajarkan bahwa suara rakyat tidak boleh diremehkan. Kesenjangan antara penguasa dan rakyat, jika dibiarkan melebar, akan berbalik menjadi gelombang perlawanan yang sulit dibendung. George Santayana pernah berujar bahwa mereka yang tidak belajar dari sejarah ditakdirkan untuk mengulanginya. Maka, jalan terbaik bagi Indonesia adalah belajar dari Paris: mendengarkan jeritan rakyat sebelum terlambat, karena sejarah telah menunjukkan bahwa kesabaran massa selalu punya batas.






