Serang, LSPM – Gelombang demonstrasi dengan tuntutan “Bubarkan DPR RI” tidak lahir dari ruang hampa. Ia muncul sebagai akumulasi kekecewaan rakyat terhadap lembaga yang seharusnya menjadi representasi mereka. Dan di tengah situasi panas ini, gaya komunikasi sejumlah anggota DPR justru menambah bara di api.
Ketika publik memprotes kenaikan tunjangan rumah anggota DPR hingga Rp50 juta per bulan—di saat rakyat banyak berjuang dengan inflasi, harga pangan, dan lapangan kerja yang makin sulit—yang muncul dari sebagian anggota dewan bukanlah penjelasan argumentatif, melainkan gestur seolah menantang rakyat.
Sosok Ahmad Sahroni, misalnya, dengan lantang menyampaikan pernyataan yang terkesan menyepelekan kritik. Eko Patrio, di sisi lain, muncul dengan gaya joget-joget di ruang publik, seakan-akan ingin menunjukkan bahwa semua baik-baik saja.
Bagi masyarakat yang sedang menjerit, gaya komunikasi seperti itu ibarat garam yang ditabur di atas luka. Alih-alih meredakan ketegangan, ia memperkuat persepsi bahwa DPR sudah benar-benar kehilangan empati.
Rakyat tidak hanya kecewa pada kebijakan, tetapi juga pada cara mereka diperlakukan. Dalam teori kebijakan publik, legitimasi bukan hanya lahir dari keputusan substantif, tetapi juga dari cara pemimpin berkomunikasi. Gaya komunikasi yang arogan, menyepelekan, atau terkesan mengejek keresahan rakyat akan mempercepat erosi legitimasi.
Inilah yang kini terjadi. Demonstrasi besar-besaran, ditambah seruan ekstrem seperti “Bubarkan DPR”, adalah refleksi dari kehancuran komunikasi politik yang mestinya dibangun dengan kesantunan dan keterbukaan.
Namun, gelombang aksi ini juga meninggalkan catatan penting lain: kerusakan fasilitas publik. jalanan yang rusak, halte busway yang hancur, gedung-pemerintahan yang dibakar,hingga terganggunya lalu lintas menjadi konsekuensi dari benturan antara aparat dan massa. Fasilitas publik yang seharusnya menjadi milik bersama ikut jadi korban.
Kerusakan ini memperlihatkan paradoks: rakyat yang turun ke jalan sesungguhnya memperjuangkan kepentingan mereka, tetapi dalam prosesnya justru merugikan diri sendiri lewat rusaknya sarana yang mereka gunakan sehari-hari.
Di sinilah terlihat bagaimana ketidakmampuan DPR membaca aspirasi sejak awal memicu eskalasi konflik yang akhirnya berdampak lebih luas ke masyarakat.
Pertanyaan yang patut diajukan: mengapa kerusakan fasilitas publik ini bisa terjadi? Jawabannya sederhana: karena aspirasi yang seharusnya disalurkan melalui mekanisme formal ditutup atau diremehkan, sehingga rakyat memilih jalan demonstrasi.
Dan ketika emosi kolektif meledak, gesekan dengan aparat tidak bisa dihindari. Akibatnya, publik menanggung dua kerugian sekaligus—kehilangan kepercayaan pada wakil rakyat dan kehilangan fasilitas umum yang vital.
Sebagai pengamat kebijakan publik, saya melihat DPR masih punya ruang untuk memperbaiki situasi. Caranya bukan dengan defensif atau menantang rakyat, melainkan dengan:
- Menghentikan gaya komunikasi elitis – berhenti meremehkan kritik dengan canda atau tarian.
- Memberi penjelasan transparan – mengapa tunjangan dinaikkan, apa dasar hukumnya, dan bagaimana manfaatnya untuk menunjang kinerja.
- Menunjukkan empati nyata – hadir di tengah rakyat, mendengar keluh kesah, dan menahan diri dari simbol-simbol kemewahan.
- Membuka dialog kritis – forum partisipatif yang memungkinkan rakyat mempertanyakan langsung kebijakan yang mereka anggap bermasalah.
- Memulihkan fasilitas publik – DPR bersama pemerintah harus menunjukkan tanggung jawab moral dengan ikut memulihkan kerusakan akibat aksi, sebagai bentuk pengakuan bahwa eskalasi ini tak lepas dari kegagalan komunikasi politik mereka.
Jika DPR terus memilih gaya komunikasi “menantang” rakyat, maka gelombang “Bubarkan DPR” akan terus membesar, bahkan bisa berkembang menjadi krisis legitimasi politik yang lebih serius.
Pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan hanya citra lembaga parlemen, melainkan keberlangsungan demokrasi itu sendiri. Rakyat mungkin bisa memaafkan kebijakan yang keliru bila ada kejujuran dan empati. Tetapi rakyat sulit memaafkan wakilnya yang menari-nari di atas penderitaan mereka.
Syarkawi, Pemerhati Kebijakan Publik dari Universitas Pamulang.






